cookieOptions = {...}; Infection Bursal Desease (Gumboro) | My veterinary day
Blogger Tips and TricksLatest Tips For BloggersBlogger Tricks

15 Desember 2013

Infection Bursal Desease (Gumboro)

TUGAS ILMU PENYAKIT INFEKSIUS II
BIRNAVIRIDAE
INFECTIOUS BURSAL DISEASE (GUMBORO)



Kelompok I (Ganjil):


Satria Yaurwardani S
1109005001
I Gede Jaya Rama G
1109005025
Ayu Fitriani
1109005003
Priscilla Mariani S.P
1109005027
Sanul Karimah
1109005005
Irenius Rea A.D
1109005033
IGM Anantawijaya
1109005007
Cyrillus Jefferson B
1109005035
Ni Luh Sri Sundari R.
1109005009
Irma Rozalina
1109005041
Afrizal Choirul U
1109005011
Elti Febilani
1109005047
Putu Angga Andika P
1109005013
Siereh Eugne M.L
1109005087
Komang Gita P
1109005015
Putu Maha Suta N
1109005091
Nirae Nirae Nurani
1109005017
I Made Edi Suryawan
1109005093
Drystiana Yessi A.L
1109005019
Ayu Prawita Sari C.P
1109005095
Putu Juni Nata
1109005021
I Gede Agus Kana S
1109005099
Yessa Alvionita Br.B
1109005023
I Gede Edi Purwanta
1109005103


M. Pahri Amirullah
1109005109


Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
Denpasar

2013

__________________________________________

DOWNLOAD
__________________________________________

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan Ilmu Penyakit Infeksius II yang berjudul “Infectious Bursal Disease”
Dengan adanya paper ini, penulis berharap paper ini dapat digunakan sebagai referensi dan  bahan bacaan serta pengetahuan tentang Birnaviridae khususnya pada penyakit Gumboro (IBD).
Dalam penyusunan dan pencetakan paper ini mungkin ada salah kata, ketik atau penyusunan penulis mohon maaf. Serta penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tugas penulis berikutnya.


Denpasar,  November  2013


Penulis

__________________________________________



PEMBAHASAN

I.                   PENDAHULUAN
Gumboro disease disebut juga infectious avian nephrosis, infectious bursal disease (IBD) atau disebut penyakit gumboro, adalah suatu penyakit infeksius yang menular disebabkan oleh virus. Penyakit ini menumbulkan gangguan pada alat-alat tubuh pembentuk kekebalan terutama bursa fabricius, sehingga ayam mudah terserang penyakit lainnya.
            Penyakit gumboro pertama kali dikenal di wilayah Gumboro, Delaware, Amerika Serikat pada tahun 1950. Saat ini gumboro sudah tersebar luas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada ayam dewasa kerugian ekonomi akibat gumboro tidak begitu berarti. Serangan penyakit gumboro pada anak ayam menyebabkan kerusakan bursa fabricius, sehingga mengalami penghambatan dalam membentuk zat kebal. Akibatnya ayam mudah terserang penyakit lainnya.
Penyakit gumboro disebabkan oleh virus golongan Reovirus dan mempunyai struktur RNA. Di luar tubuh ayam, virus tahan hidup lebih dari 3 bulan dan masih bersifat infektif. Virus ini relatif tahan terhadap ether, khloroform, tripsin dan pada pH rendah. Virus sangat peka terhadap formalin dan larutan yodium.


II.                ETIOLOGI
Virus penyebab IBD yang dikenal saat ini terdiri dari 2 serotipe yaitu serotipe 1 dan serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang sangat ganas yaitu very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD tersebut merupakan hasil mutasi dari virus klasik, sementara serotipe 2 tidak bersifat ganas. Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji virus netralisasi (VN) tetapi tidak dapat dibedakan dengan Flourescent Antibody Technique (FAT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Virus IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral. Virus ini tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yaitu A1 dan A2. Segmen A1 merupakan penyandi protein VP2 (40 kD), VP3 (32 kD), VP4 (28 kD). Protein VP2 dan VP3 membentuk capsid virus, VP2 membentuk bagian luar capsid, sedangkan VP3 membentuk bagian dalam capsid.
Protein VP4 merupakan protease virus.Sementara itu, A2 merupakan penyandi protein nonstructural VP5 (17 kD) yang kemungkinan terlibat dalam pelepasan virus dari sel serta berperan dalam menghambat proses apoptosis pada tahap awal infeksi virus IBD. Segmen B yang berukuran lebih kecil mempunyai 2800 pasangan basa, sebagai penyandi bagi protein VP1 Protein VP2 dan VP3 merupakan protein utama yang masing-masing terdiri 51 dan 40% dari total protein dan mengandung epitop penetralisasi.
Protein VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya 3 epitop yang bebas, yang bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi. Hasil penelitian RAHARJO dan SUWARNO (2005) menunjukkan bahwa protein VP2 virus IBD isolat lokal mampu menginduksi pembentukan antibodi dan dapat bereaksi secara spesifik dengan antibodi ayam hasil vaksinasi maupun infeksi alam. Varian alam virus IBD mengikat reseptor sel B bursa Fabricius melalui protein VP2. Variasi antigenik virus IBD banyak dipelajari dengan cara melihat perubahan beberapa asam amino pada gen VP2.

III.             EPIZOOTIOLOGI
Pada awalnya IBD ditemukan di daerah Delaware, Amerika pada tahun 1956, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia baik di Amerika, Eropa Afrika, Australia  dan Asia termasuk Indonesia yang disebabkan oleh virus IBD klasik atau vvIBD dan terdapat diseluruh dunia, di Indonesia th 1974.

IV.             GEJALA KLINIS
Penyakit sering kronis tetapi kadang-kadang akut. Penyakit diawali dengan hilangnya nafsu makan, kemudian disusul dengan kelemahan, inkoordinasi (gerakan tak terkendali), peradangan di sekitar dubur dan terjadi diare berair yang disertai keadaan gemetar. Penyakit terjadi secara tiba-tiba, sering menyerang pada ayam pedaging umur 3 – 6 minggu. Pada ayam telur lebih sering menyerang ayam umur kurang dari 12 minggu. Jumlah kematian berkisar antara 5 – 20%, tergantung dari umur ayam, semakin tua ayam angka sakit dan kematian cenderung menurun.
Pada ayam yang mati karena penyakit gumboro, jika dilakukan bedah bangkai dapat ditemukan perubahan pada bursa fabricius. Ginjal membengkak dan warnanya berubah karena nephrosis. Pembendungan hati dan seringkali didapatkan perdarahan pada otot tubuh yang berupa garis-garis. Pada keadaan kronis bursa fabricius mengalami atropi sehingga ukurannya sangat kecil.
Masa inkubasi penyakit pada kasus alami tidak jelas diketahui, sedangkan untuk infeksi percobaan masa inkubasi sangat pendek yaitu berlangsung antara 2-3 hari. Ayam-ayam terserang biasanya ditandai dengan gejala depresi, nafsu makan menurun, lemah, gemetar, sesak nafas, bulu-bulu merinding dan kotor terutama bulu-bulu didaerah perut dan dubur, selanjutnya diikuti dengan mencret, feses berwarna putih kapur dan kematian terjadi akibat dehidrasi.

V.                PATOLOGI ANATOMI
Patologi anatomi  yang dapat diamati teergantung dari strain ayam yang terinfeksi. Pada tahap awalditemukan odema yaitu pada 2 – 7 hari pascainfeksi (pi) (ACRIBASI et al., 2010), berupa cairan gelatin yang menutup lapisan serosa. Bursa kemudian membesar pada umur 10 hari pi karena adanya eksudat pada lumen bursa yang awalnya berwarna kemerahan, pada tahap berikutnya menjadi berwarna kekuningan dan bintik-bintik perdarahan pada limpa (RAUTENSCHLEIN et al., 2007). Perdarahan juga ditemukan pada otot dada dan otot paha mulai umur 2 hari hingga 7 hari pi (Gambar 1B) (ACRIBASI et al., 2010). Pada 7 hari pi bursa Fabricius ayam yang diinfeksi vvIBDv terlihat mengecil dibandingkan dengan bursa Fabricius ayam normal (Gambar 2), demikian juga pada 14 hari pi. Jika terjadi penyembuhan ukuran bursa kembali normal pada 21 hari pi.
Mekanisme terjadinya perdarahan pada limpa, otot dada dan otot paha pada infeksi vvIBD belum diketahui dengan pasti. Perdarahan dapat terjadi jika terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah kapiler atau vena atau jika terjadi gangguan pada system pembekuan darah. 

VI.             HISTOPATOLOGI
Virus IBD dari strain yang amat ganas (vvIBDv)menyebabkan lesi yang parah, yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa Fabricius, hati, ginjal, jantung, proventrikulus, gizard dan seka tonsil. Pada seka tonsil terjadi hiperplasia 6 jam pi (OLADELE et al., 2009). NONUYA et al. (1992) melaporkan bahwa  nekrosis sel timus terjadi secara ekstensif. Pada area nekrosis ditemukan agregat sel dengan inti yang piknotik, sel debris dan reaksi fagosistosis pada sel epitel retikuler. Kapsula timus menebal dan daerah antar lobus melebar karena terjadi odema.
Pada limpa dan seka tonsil sel limfosit banyak yang menghilang diganti dengan sel makrofag dan sel heterofil, ini menunjukkan ada reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi juga ditemukan pada ginjal, paru-paru dan seka tonsil. Lesi yang karasteristik ditemukan pada sumsum tulang. Sel hematopoitik banyak yang menghilang diganti dengan jaringan lemak dan banyak ditemukan nekrosis dan sisa-sisa reruntuhan sel. Di daerah sinusoidl diinfiltrasi sel makrofag dan sel heterofil (NONUYA et al., 1992).
Perubahan yang paling parah ditemukan pada bursa Fabricius. Lesi pada bursa Fabricius ditandai dengan odema dan pengosongan sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, akumulasi heterofil pada folikel bursa Fabricius, fibrosis pada jaringan ikat antar folikel dan proliferasi sel retikuler endotelial (PARK et al., 2009). Odema mulai teramati 12 pi (OLADELE et al., 2009). Pada 24 jam pi terjadi degenerasi dan nekrosis limfosit di bagian medula folikel bursa Fabricius (WANG et al., 2008).
Tahap selanjutnya terjadi penurunan jumlah sel limfoid pada folikel bursa bahkan beberapa folikel bursa Fabricius terlihat kosong (RAUTENSCHLEIN et al., 2007). Fibrosis dan kista pada folikel limfoid bursa Fabricius ditemukan 72 jam pi (OLADELE et al., 2009). Infiltrasi sel heterofil teramati pada 2 dan 3 hari pi (ACRIBASI et al., 2010), sedangkan populasi makrofag meningkat pada 1 – 5 hari pi (WILLIAM dan DAVISON, 2005). Gambar 3 menunjukkan gambaran HP pada infeksi IBD (pewarnaan H & E). Replikasi virus mengakibatkan kerusakan yang parah pada sel limfoid pada bagian medula dan korteks pada bursa Fabricius. Apoptosis yang terjadi pada sel B di sekitar sel terinfeksi memperparah perubahan morfologi bursa Fabricius (NONUYA et al., 1992)

VII.          DIAGNOSA
Diagnosis IBD dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah perubahan yang ditemukan pada bursa Fabricius. Namun demikian, diagnosis IBD sebagai penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala infeksi virus IBD mirip dengan ND atau penyakit lain penyebab imunosupresif. Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius (Gambar 4). Antigen virus IBD dapat dideteksi 3 jam pi pada bagian korteks folikel limfoid bursa Fabricius. Antigen dapat dideteksi pada makrofag di dalam folikel bursa Fabricius dan pada sel epitel 96 jam pi (OLADELE et al., 2009).
Keberadaan antigen IBD pada bursa Fabricius berkorelasi positif dengan terjadinya lesi pada bursa Fabricius (RAUTENSCHLEIN et al., 2005). Antigen virus IBD juga terdeteksi pada organ timus, limpa, secal tonsil, sel epitel tubulus dan glomerulus ginjal, lapisan mukosa dan glandula pada proventrikulus serta pada sel Kupffer pada hati (OLADELE et al., 2009). Antigen virus IBD juga dapat dideteksi pada itik dan kalkun yang diinfeksi dengan virus IBD, namun demikian jumlah antigen yang dideteksi relatif lebih sedikit (OLADELE et al., 2009).
Diagnosis IBD dapat juga dilakukan dengan cara mengisolasi virus yang diduga sebagai penyebab, yang ditumbuhkan pada telur ayam berembrio berumur 11 hari atau biakan jaringan, namun diperlukan waktu relatif lama dan tidak semua strain virus IBD dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus dapat digunakan untuk mendeteksi IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara IBD klasik dan IBD varian (OIE, 2008).
Sedangkan Antigen-capture ELISA dapat digunakan untuk membedakan antara IBDv sangat virulen dengan IBD yang kurang patogen. Sementara itu, teknik RTPCR dapat membedakan serotipe IBD, sedangkan subtipe IBD dapat dibedakan dengan real-time RTPCR  (CURRIE, 2002). Virus IBD dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat sebagai blok parafin dengan real time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara lesi dan hasil deteksi antigen (HAMOUD dan VILLEGAS, 2006).

VIII.       DIAGNOSA BANDING
Penyakit Gumboro, yang ditimbulkan seringkali mirip dengan penyakit lain seperti ND, AI, IB, Inclusion body hepatitis leucocytozoonosis dan fatty liver syndrome yang disertai kidney sindrom. Adanya perdarahan pada otot dada dan paha pada kasus Gumboro juga sering dikelirukan dengan penyakit lain seperti AI dan leucocytozoonosis. Pada ayam yang terkena Gumboro, perdarahan yang ditemukan pada otot dada dan paha cenderung berbentuk garis. Sedangkan pada kasus leucocytozoonosis berbentuk bintik-bintik, dan pada kasus AI bentuk perdarahannya tidak beraturan.
Penyakit AI juga terkadang menyebabkan radang pada bursa Fabrisius, namun bentuk plica (lipatan-lipatan/gelambir) bursa Fabrisius nya masih seragam karena AI tidak merusak sel-sel limfosit yang terdapat pada bursa Fabrisius. Selanjutnya diagnosa banding antara Gumboro dan IB juga perlu diamati lebih spesifik, terutama pada pembengkakan ginjal yang sama-sama ditimbulkan. Karena pembengkakan ginjal antara Gumboro dan IB, serta Inclusion body hepatitis terkadang sulit dibedakan dari perubahan fisik yang terjadi, maka lebih baik periksa perubahan organ tubuh lainnnya.


IX.             PENGENDALIAN
Untuk menghindari kerugian akibat kematian yang tinggi, pertumbuhan yang tidak optimal ataupun efek imunosupresif akibat kasus Gumboro, maka pencegahan kasus ini harus menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, meminimalisir dan mengeliminasi faktor pencetus munculnya penyakit ini di lapangan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sebenarnya bukan semata-mata menjadi tanggungjawab peternak di tingkat komersial (pedaging ataupun pullet), namun pembibit dan feedmil seharusnya juga mempunyai andil yang tidak kalah penting. Munculnya kasus Gumboro dipicu oleh beberapa hal yang saling berkaitan diantaranya yaitu, kualitas DOC, kualitas pakan, manajemen pemeliharaan, program kesehatan dan vaksinasi, dan biosekuriti.

a. Kualitas DOC
Peternak komersial tidak mempunyai kendali pada kualitas DOC yang dibelinya. Mereka hanya bisa memilih mana yang dianggap baik ataupun tidak, berdasarkan pengalaman sendiri dan referensi dari peternak lain. Kalau kebetulan pembibit yang sudah diyakininya mempunyai konsistensi dan komitmen tinggi dalam menjaga mutu produknya beruntunglah peternak, karena salah satu beban untuk eliminasi kasus Gumboro sudah berkurang.
DOC yang berkualitas baik merupakan hasil dari suatu proses panjang di tingkat pembibit. Ditentukan dari saat masih berupa telur di dalam tubuh induk, proses koleksi telur tetas, penetasan hingga sampai di tangan peternak komersial. Ayam pembibit yang sehat dengan pakan yang mengandung nutrisi seimbang dan bebas dari mikotoksin, mempunyai program vaksinasi yang ketat, lingkungan kandang yang bersih, serta proses koleksi, penyortiran telur yang akan masuk ke hatchery secara ketat akan menghasilkan DOC yang berkualitas. Dan dibarengi dengan manajemen transportasi yang baik dari hatchery hinggá sampai ke tangan peternak akan menjamin kualitas DOC tersebut.
Maternal antibodi yang tinggi didapat dari induk yang sehat dan divaksin secara teratur dan berkesinambungan. Vaksinasi IBD pada induk biasanya dilakukan sebelum masa produksi dan diulang lagi pada umur 40-45 minggu, dimana pada saat ini biasanya titer antibodi induk sudah menurun. Vaksinasi ulangan ini dilakukan untuk menjaga agar antibodi yang diturunkan ke anak ayam tetap tinggi. Maternal antibodi yang tinggi akan melindungi anak ayam dari infeksi agen penyakit pada minggu pertama kehidupannya (2-3 minggu pertama).
Untuk mendapatkan DOC yang sehat seperti di atas didapat dari telur tetas yang beratnya sudah memenuhi syarat untuk ditetaskan dan berasal dari induk yang tidak terlalu tua ataupun muda, telur tetas bersih, utuh tidak retak ataupun cacat dengan lingkungan kandang yang bersih dan proses penetasan yang baik dan benar. Jika lingkungan kotor dan telur yang ditetaskan pun demikian dikuatirkan embrio juga akan tercemar bakteri seperti E.coli, Pseudomonas, Staphylococcus, dll yang bisa menyebabkan peradangan pada kantong kuning telur (omfalitis).
Kondisi ini akan menyebabkan gangguan proses penyerapan kuning telur yang notabene merupakan sumber makanan di awal kehidupan ayam dan juga maternal antibodi yang diturunkan dari induknya. Atau bisa juga telur tercemar spora jamur Aspergillus, sp, sehingga anak ayam bisa terkena Aspergillosis sejak masih embrio.
Transportasi DOC dari hatchery ke farm juga akan mempengaruhi pertumbuhan DOC tersebut. Kondisi mobil pengangkut harus memenuhi stándar yang ditetapkan. Temperatur dan ventilasi ruangan harus diperhatikan agar anak ayam tidak mendapat stress yang berlebihan dam kecukupan oksigennya terpenuhi.

b. Kualitas pakan
Pakan merupakan komponen pokok yang mengambil porsi terbesar dari biaya produksi suatu usaha peternakan. Kualitasnya pakan ditentukan oleh kualitas bahan baku yang menyusunnya. Dalam manajemen pakan hal yang harus diwaspadai adalah keseimbangan nutrisi dan kadar mikotoksin yang mencemarinya. Kandungan protein tercerna yang sesuai dengan kebutuhan ayam dengan komposisi asam amino yang seimbang, demikian juga dengan kadar lemak, energi, serat kasar dan mineral yang imbang sangat penting untuk pertumbuhan ayam.
Kadar mikotoksin dalam pakan harus diperhatikan, karena akan berpengaruh pada sistem imunitas dan pertumbuhan tubuh ayam. Pada saat musim hujan kita perlu waspada dengan mikotoksin ini. Di musim kemaraupun kadang kadar mikotoksin juga masih tinggi. Tingginya kadar mikotoksin berkaitan dengan proses pemanenan, pengeringan dan penyimpanan bahan baku, terutama yang berasal dari biji-bijian. Untuk meminimalisir jumlah mikotoksin perlu pencegahan tumbuhnya jamur dan pembentukan metabolitnya.
Salah satu caranya dengan pengeringan hinggá mencapai kadar air yang rendah, penyimpanan pada ruangan yang kering, penambahan antijamur (asam organik), dan mikotoksin binder (zeolit, bentonit, dll.). Proses penyimpanan dan pengangkutan bahan baku atau pakan jadi jika tidak memenuhi stándar juga akan mempengaruhi kualitas pakan.
Indonesia merupakan negeri tropis dengan curah hujan tinggi, sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan jamur. Temperatur dan kelembaban gudang penyimpan tidak boleh terlalu tinggi, yang ideal disarankan pada suhu tidak lebih dari 240 C dan kelembaban < 17%. Selain itu pemeriksaan sampel bahan baku dan pakan jadi harus dilakukan secara teratur untuk melihat komposisi nutrisi (analisa proksimat) maupun cemaran mikotoksin.

c. Manajemen Pemeliharaan
Manajemen pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha produksi peternakan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, yang paling utama adalah menciptakan kondisi dan tempat yang nyaman untuk hidup ayam. Jika ayam hidup di kandang yang nyaman, terjaga dari stres lingkungan, kebutuhan oksigen terpenuhi, cemaran gas amonia minimal, tersedia pakan yang berkualitas dan air minum yang bersih sepanjang hari, dan juga dengan pelaksanaan program vaksinasi terhadap berbagai agen infeksius yang tepat diharapkan ayam terhindar dari berbagai stres baik dari lingkungan makro ataupun agen penyakit yang ada. Dengan begitu ayam bisa tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan optimal.
Proses pemeliharaan yang baik dan benar harus dilakukan sejak kedatangan anak ayam, masa brooding dan kehidupan selanjutnya. Masa brooding merupakan waktu yang cukup krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan ayam, sehingga harus dilakukan dengan benar. Populasi dalam satu lingkaran brooder harus diperhatikan, 1 pemanas maksimal untuk 1000 ekor DOC. Jika populasi terlalu padat tingkat stress dan daya kompetisi ayam semakin tinggi dan kecukupan oksigen pun akan berkurang. Untuk mempertahankan suhu badan anak ayam kehangatan ruangan sangat penting karena ayam tidak dierami oleh induknya dan dan pusat pengatur suhu tubuh ayam belum berkembang sempurna. Selain itu buka tutup tirai harus diatur sedemikian rupa sehingga kesegaran udara dan kecukupan oksigen terpenuhi, selain itu juga untuk menghindari paparan angin yang terlalu dini.
Pada minggu pertama merupakan masa pertumbuhan ayam yang paling cepat. Berat badan ayam bisa mencapai 2 kali lipat dari saat menetasnya. Bisa dikatakan saat ini merupakan golden age ayam. Pada masa ini terjadi pembelahan sel cukup tinggi, sehingga kecukupan oksigen dan nutrisi sangat penting. Saat ini juga terjadi penyerapan kuning telur yang di dalamnya terdapat antibodi dari induk. Pemberian pakan sesegera mungkin setelah anak ayam datang akan mempercepat dan mengoptimalkan penyerapan kuning telur. Jika pada masa brooding kehidupan ayam terjaga dengan baik, diharapkan penyerapan antibodi induk terhadap IBD yang ada dalam kuning telur bisa sempurna. Sehingga ayam bisa mengatasi infeksi IBD dini yang bersifat subklinis. Selain itu juga meminimalkan faktor pencetus stres pada ayam seperti menjaga kecukupan pakan, minum, kecukupan sirkulasi udara, pencahayaan dan ketenangan lingkungan.

d. Program Kesehatan
Kasus Gumboro bisa terjadi jika kekebalan ayam tidak bisa mengatasi serbuan virus lapangan yang masuk ke tubuh ayam dan virus lapangan lebih cepat sampai di bursa dibanding virus vaksin yang diberikan. Hal ini bisa terjadi karena kondisi ayam yang tidak optimal karena stres (manajemen, lingkungan), titer antibodi induk yang rendah, jumlah virus lapangan yang terlalu banyak, strain virus vaksin yang dipakai tidak cocok dengan virus yang ada di lapangan, dan waktu pemberian vaksin yang tidak tepat.
Meminimalisir faktor pencetus stres bagi ayam sangat penting terutama pada awal kehidupan ayam. Jika ayam menderita cekaman baik karena faktor internal ataupun eksternal bisa mengakibatkan daya tahan tubuh ayam menurun. Sehingga agen-agen patogen bisa mudah menginvasi tubuh ayam. Jumlah virus di lapangan yang tinggi akan meningkatkan resiko terkena Gumboro. Antibodi induk ayam hanya bisa melindungi sampai umur sekitar 2-3 minggu, dan daya netralitasnya pun terbatas, jika agen infeksi yang harus dinetralkan terlalu banyak, jumlah antibodi tidak bisa mencukupi sehingga ayam akan kalah juga.
Untuk mengurangi kerja ayam dalam menetralkan antigen, meminimalkan jumlah virus di lapangan sangatlah penting. Ini dilakukan dengan persiapan kandang yang benar-benar baik sebelum kedatangan ayam. Sebelum dipakai kandang harus dicuci kering dan basah sampai bersih, kemudian dilakukan desinfeksi berulang. Lantai kandang juga harus diperlakukan khusus, setelah dicuci bersih diberi larutan soda api kemudian dicuci ulang. Setelah itu diberi larutan kapur hidup. Penyemprotan insektisida ke lantai, langit-langit, tiang, dinding dan sekitar kandang perlu dilakukan untuk membunuh serangga seperti semut, kumbang franky (Altophobius, sp) dll yang bisa menjadi reservoir virus IBD.
Penyemprotan kandang secara rutin setelah ayam masuk kandang dengan larutan desinfektan (seperti golongan iodin) akan sangat membantu meminimalisir jumlah virus. Pemberian antibiotika berspektrum luas selama 3-5 hari pertama kehidupan anak ayam akan membantu mengeliminasi bakteri yang ada pada anak ayam, diharapkan akan mengurangi kasus radang omfalitis sehingga penyerapan kuning telur bis optimal. Selain itu dengan memperkuat kondisi tubuh anak ayam dengan pemberian multivitamin secara rutin akan membantu mengurangi pengaruh cekaman pada anak ayam. Pencegahan koksidiosis dengan vaksinasi ataupun pemberian koksidiostat diharapkan bisa meminimalisir kejadian koksidiosis pada ayam dan diharapkan secara tidak langsung akan mengurangi kejadian Gumboro ataupun menurunkan tingkat keparahan koksidiosis. Jika ayam terkena koksidiosis pada minggu-minggu awal biasanya resiko terkena Gumboro lebih besar dan parah.

e. Biosekuriti
Biosekuriti merupakan suatu usaha pengamanan biologik yang bertujuan untuk mencegah masuknya agen-agen patologik ke tubuh ayam. Tidak hanya meliputi proses desinfeksi kandang dan lingkungan, namun merupakan suatu usaha yang terpadu dan berkesinambungan dari tingkat konseptual, struktural dan operasional. Meliputi tata letak, lokasi farm dan kandang, bangunan kandang, pemagaran serta bangunan pendukung seperti kantor, mess karyawan, gudang pakan atau telur, ruang ganti baju, car dip. Juga pola replacement yang all in all out. Lokasi farm yang tidak berdekatan dengan farm tetangga, hanya terdapat satu macam spesies unggas saja di lokasi, adanya pagar sekeliling farm yang memisahkan farm dengan lingkungan sekitar, dan pola pemeliharaan all in all out, akan mengurangi resiko munculnya kasus penyakit infeksius.

f. Ketepatan Pemilihan Vaksin
Pemilihan vaksin yang cocok dengan virus di lapangan sangat penting. Pada saat ini ada banyak macam jenis vaksin yang dijual di pasaran. Dari yang bersifat mild sampai yang intermediate plus. Vaksin yang tergolong mild virusnya bisa menembus titer antibodi induk pada angka 125. Intermediate pada titer 250, sedangkan yang intermediate plus bisa menembus titer di angka 500-800. Berdasarkan grup molekulernya virus gumboro digolongan dalam 6 macam virus. Di Indonesia kebanyakan dari jenis group molekuler 3, 4 dan 5. Kita harus jeli dan pintar dalam memilih produk yang demikian banyaknya di pasar. Vaksin yang mahal tidak selalu menjamin bebas dari kebocoran vaksinasi. Kecocokan strain virus dengan lingkungan setempat harus diutamakan. Jika suatu jenis vaksin sudah cocok di farm kita lebih baik jangan diubah. Virus vaksin yang terlalu keras sebaiknya hindari diberikan terlalu dini, karena bisa merusak sel-sel limfoid di bursa.

g. Ketepatan Waktu Vaksinasi
Hal yang tak kalah penting untuk meminimalisir kebocoran vaksinasi adalah penentuan waktu yang tepat kapan sebaiknya vaksinasi dilakukan. Untuk dapat menentukan waktu vaksinasi yang tepat, pengukuran maternal antibodi (MAb) terhadap IBD mutlak harus dilakukan. Karena pembibit tidak pernah memberitahukan titer antibodi dari induknya.
Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan teknik ELISA. Dengan mengetahui status MAb nya kita dapat melihat tingkat keseragaman titer dan menghitung kecepatan penurunannya, sehingga dapat diperkirakan waktu yang tepat untuk vaksinasi. Vaksinasi yang dilakukan pada saat titer MAb masih tinggi tidak akan efektif, virus vaksin justru akan dinetralisir oleh antibodi sehingga virus tidak akan bisa multiplikasi dan pada akhirnya tidak akan muncul respon vaksinasi yang diharapkan. Dan bisa jadi jika ada virus lapangan yang bisa menembus kekebalan ayam, kejadian Gumboro akan muncul.
Kendala dalam penentuan waktu vaksinasi ini adalah ketidakseragaman MAb dari masing-masing individu. Hal ini terjadi karena DOC berasal dari individu induk yang berbeda-beda baik yang seumur atau bahkan berlainan umur. Oleh karena itu pada saat DOC masuk kita harus mencatat no batch yang biasa ada pada masing-masing box. Ayam yang berlainan no batch biasanya berbeda data induk dari telur tetasnya. Dan untuk masing-masing no batch yang berbeda kita mengambil sample darahnya.
Jumlah DOC yang kita ambil untuk sampel minimal 20 ekor. Dan satu hal yang harus kita perhatikan DOC yang kita ambil darahnya haruslah yang sehat bukan DOC yang performansnya jelek, agar titer yang didapat merupakan gambaran titer MAb sebagian besar ayam . Kalau kita ambil DOC yang jelek, bisa jadi gambaran titer yang kita dapat juga kurang bagus, dan itu bukan pencerminan dari kelompok ayam tersebut.Untuk penghitungan prediksi waktu vaksinasi biasanya digunakan rumus van Deventer. Rumus ini dapat dipakai baik untuk ayam pedaging, petelur maupun pembibit. Hal yang harus diketahui adalah waktu paruh MAb IBD berbeda untuk setiap tipe ayam, untuk ayam pedaging 3-3,5 hari, ayam petelur 5-5,5 hari, pembibit 4,5 hari. Selain itu kita juga harus tahu jenis vaksin IBD yang akan digunakan, apakah mild, intermediate ataupun intermediate plus, karena ini untuk mengetahui break through titer (angka titer di mana virus vaksin bisa menembus MAb ayam) dari virus vaksin. Jika menggunakan vaksin yang mild break through titer nya sekitar 125, intermediate plus sekitar 500 dan yang hot di titer 1000.
Cara penghitungan prediksi waktu vaksinasi :
Hari vaksinasi = T1/2 x ( Log2 titer – Log2 target titer)) + umur saat sampling + angka koreksi T1/2 : waktu paruh MAb (broiler : 3 hari, layer: 5, breeder: 4,5 hari)
Titer: titer MAb (jika CV bagus vaksinasi bisa sekali untuk perlindungan 75 %, namun jika CV jelek vaksin 2 kali untuk perlindungan di 20 %dan 70 % atau 40 dan 90 %)
Titer target: titer MAb di mana virus vaksin bisa menembusnya (mild: 125, intermediate plus: 500, hot: 1000) tergantung pada spesifikasi masing-masing produk vaksin.
Umur sampling: Umur pada saat pengambilan darah
Angka koreksi: tambahan hari jika sampling dilakukan pada umur ayam 0-4 hari (diasumsikan pada 4 hari pertama kehidupan ayam belum terjadi penurunan MAb karena masih adanya penyerapan kuning telur, jika sampling umur 1 hari koreksinya 3, umur 2 hari koreksinya 2, 3 hari koreksinya 1 dan umur 4 hari koreksinya).

X.                PENCEGAHAN
1.                  Vaksinasi secara teratur
2.                  Melakukan sanitasi kandang (kandang dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan ANTISEF, FOMADES atau SPORADES), mencegah temu hewan liar dan hewan peliharaanlain masuk kelingkungan kandang. 
3.                  Usahakan peternakan dengan baik supaya terciptan suasana yaman bagi ayam, ayam dalam kandang tidak terlalu padat.  Ventilasi kandang cukup dan sedapat mungkin dilakukan sistem “all in all uot”.
4.                  Sanitasi tepat minum : tepatminum dicuci setiap dua kali sehari, rendam tempat minum yang telah dicuci dalam medisef  25 ml setiap sepuluh liter selam paling tidak 30 menit, setiap 4 hari sekali.  Majukan dan mundurkan desinfektan jika harinya bertepatan dengan jadwal vaksinasi.
5.                  Jiga tersedia sarana test ELISA uintuk mengukur kandungan materal anti body pada DOC, waktu vaksinasi dan jenis vaksin yang dipilih bisa ditentukan dan akan lebih menunjang keberhasilan program vaksinasi.

XI.             PENGOBATAN
Penyakit gumboro disebabkan oleh virus, maka tidak ada obat-obat yang khusus untuk penyakit ini. Antibiotika, sulfonamide dan Nitrofuran tidak mempunyai efek atau bahkan sama sekali tidak berdaya terhadap penyakit ini. Dapat dicoba pengobatan vitamin-elektrolit yang rupa-rupanya sedikit menolong ayam-ayam yang sakit.Wabah penyakit ini akan berlangsung selama 4-7 hari, dan jika dalam ginjal sudah terdapat banyak asam urat dan ada nephritis dan nephrosis, perlu diberikan air minum yang dicampur dengan molase sebanyak kurang lebih 10% (kira-kira 1 mangkuk molase tiap-tiap 5 galon air), biasanya dapat menolong dari kematian. Kadar antibiotik yang tinggi pada ransum adalah kotraindikasi (tidak diperbolehkan), sebab akan mengikat calcium, sehingga malah akan berakibat timbulnya poenyakit rachitis (tulang). Disinfeksi terus-menerus, alat-alat maupun bangunan-bangunan terhadap pencemaran virus gumboro sangat diperlukan, sampai ayam-ayam yang sakit sembuh semua.  

__________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

STPP Malang, Newcastle Disease (ND). http://nakstppmlg.weebly.com/penyakit-ayam.html
30 November 2013
Info medion. 2012. Gumboro Menghadang, Tak Perlu Khawatir. Tips Menangani Virus Gumboro
http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/penyakit/gumboro-menghadang-tak-perlu-khawatir.
30 November 2013
Info medion. 2012. Tips Menangani Virus Gumboro
http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/tata-laksana/tips-atasi-virus-gumboro.
30 November 2013

Duriyat, djadjat. 2013. Penyakit Gumboro / IBD Pada Ternak Unggas

 http://bp3kmandirancan.blogspot.com/2013/01/penyakit-gumboro-ibd-pada-ternak-unggas.html
30 November 2013

Yudianto, Gusti Made. 2012. PENYAKIT GUMBORO. http://kesehatanunggas13.blogspot.com/2012/03/penyakit-gumboro.html
30 November 2013

Genepo, afendi. 2011. PENCEGAHAN PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA PETERNAKAN AYAM BROILER

http://afendigenepo.blogspot.com/2011/06/pencegahan-penyakit-gumboro-infectious.html 
30 November 2013


You migh also like:

Resent post


Recent Posts Widget