TUGAS ILMU PENYAKIT INFEKSIUS II
BIRNAVIRIDAE
INFECTIOUS BURSAL DISEASE (GUMBORO)
Kelompok I (Ganjil):
Satria Yaurwardani S
|
1109005001
|
I Gede Jaya Rama G
|
1109005025
|
Ayu Fitriani
|
1109005003
|
Priscilla Mariani S.P
|
1109005027
|
Sanul Karimah
|
1109005005
|
Irenius Rea A.D
|
1109005033
|
IGM Anantawijaya
|
1109005007
|
Cyrillus Jefferson B
|
1109005035
|
Ni Luh Sri Sundari R.
|
1109005009
|
Irma Rozalina
|
1109005041
|
Afrizal Choirul U
|
1109005011
|
Elti Febilani
|
1109005047
|
Putu Angga Andika P
|
1109005013
|
Siereh Eugne M.L
|
1109005087
|
Komang Gita P
|
1109005015
|
Putu Maha Suta N
|
1109005091
|
Nirae Nirae Nurani
|
1109005017
|
I Made Edi Suryawan
|
1109005093
|
Drystiana Yessi A.L
|
1109005019
|
Ayu Prawita Sari C.P
|
1109005095
|
Putu Juni Nata
|
1109005021
|
I Gede Agus Kana S
|
1109005099
|
Yessa Alvionita Br.B
|
1109005023
|
I Gede Edi Purwanta
|
1109005103
|
M. Pahri Amirullah
|
1109005109
|
Fakultas Kedokteran
Hewan
Universitas Udayana
Denpasar
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan Ilmu Penyakit Infeksius II yang berjudul “Infectious Bursal Disease”
Dengan adanya
paper ini, penulis berharap paper ini dapat digunakan sebagai referensi dan bahan bacaan serta pengetahuan tentang Birnaviridae
khususnya pada penyakit Gumboro (IBD).
Dalam penyusunan
dan pencetakan paper ini mungkin ada salah kata, ketik atau penyusunan penulis
mohon maaf. Serta penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan
tugas penulis berikutnya.
Denpasar,
November
2013
Penulis
__________________________________________
PEMBAHASAN
I.
PENDAHULUAN
Gumboro disease disebut juga infectious
avian nephrosis, infectious bursal disease (IBD) atau disebut penyakit gumboro,
adalah suatu penyakit infeksius yang menular disebabkan oleh virus. Penyakit
ini menumbulkan gangguan pada alat-alat tubuh pembentuk kekebalan terutama
bursa fabricius, sehingga ayam mudah terserang penyakit lainnya.
Penyakit gumboro pertama kali dikenal di wilayah Gumboro, Delaware, Amerika Serikat pada tahun 1950. Saat ini gumboro sudah tersebar luas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada ayam dewasa kerugian ekonomi akibat gumboro tidak begitu berarti. Serangan penyakit gumboro pada anak ayam menyebabkan kerusakan bursa fabricius, sehingga mengalami penghambatan dalam membentuk zat kebal. Akibatnya ayam mudah terserang penyakit lainnya.
Penyakit gumboro pertama kali dikenal di wilayah Gumboro, Delaware, Amerika Serikat pada tahun 1950. Saat ini gumboro sudah tersebar luas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada ayam dewasa kerugian ekonomi akibat gumboro tidak begitu berarti. Serangan penyakit gumboro pada anak ayam menyebabkan kerusakan bursa fabricius, sehingga mengalami penghambatan dalam membentuk zat kebal. Akibatnya ayam mudah terserang penyakit lainnya.
Penyakit gumboro disebabkan oleh virus
golongan Reovirus dan mempunyai struktur RNA. Di luar tubuh ayam, virus tahan
hidup lebih dari 3 bulan dan masih bersifat infektif. Virus ini relatif tahan
terhadap ether, khloroform, tripsin dan pada pH rendah. Virus sangat peka
terhadap formalin dan larutan yodium.
II.
ETIOLOGI
Virus
penyebab IBD yang dikenal saat ini terdiri dari 2 serotipe yaitu serotipe 1 dan
serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali
ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain
yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian
yang sangat ganas yaitu very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD tersebut
merupakan hasil mutasi dari virus klasik, sementara serotipe 2 tidak bersifat
ganas. Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji virus netralisasi (VN) tetapi
tidak dapat dibedakan dengan Flourescent Antibody Technique (FAT)
dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Virus
IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan
dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral. Virus ini
tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus
terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A mempunyai ukuran 3300 pasang
basa, yang terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yaitu A1 dan A2.
Segmen A1 merupakan penyandi protein VP2 (40 kD), VP3 (32 kD), VP4 (28 kD).
Protein VP2 dan VP3 membentuk capsid virus, VP2 membentuk bagian luar capsid,
sedangkan VP3 membentuk bagian dalam capsid.
Protein
VP4 merupakan protease virus.Sementara itu, A2 merupakan penyandi protein nonstructural
VP5 (17 kD) yang kemungkinan terlibat dalam pelepasan virus dari sel serta
berperan dalam menghambat proses apoptosis pada tahap awal infeksi virus IBD.
Segmen B yang berukuran lebih kecil mempunyai 2800 pasangan basa, sebagai
penyandi bagi protein VP1 Protein VP2 dan VP3 merupakan protein utama yang
masing-masing terdiri 51 dan 40% dari total protein dan mengandung epitop
penetralisasi.
Protein
VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya 3 epitop yang
bebas, yang bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi. Hasil
penelitian RAHARJO dan SUWARNO (2005) menunjukkan bahwa protein VP2 virus IBD
isolat lokal mampu menginduksi pembentukan antibodi dan dapat bereaksi secara
spesifik dengan antibodi ayam hasil vaksinasi maupun infeksi alam. Varian alam
virus IBD mengikat reseptor sel B bursa Fabricius melalui protein VP2.
Variasi antigenik virus IBD banyak dipelajari dengan cara melihat perubahan
beberapa asam amino pada gen VP2.
III.
EPIZOOTIOLOGI
Pada
awalnya IBD ditemukan di daerah Delaware, Amerika pada tahun 1956, kemudian
menyebar ke berbagai belahan dunia baik di Amerika, Eropa Afrika,
Australia dan Asia termasuk Indonesia
yang disebabkan oleh virus IBD klasik atau vvIBD dan terdapat diseluruh dunia, di Indonesia th 1974.
IV.
GEJALA KLINIS
Penyakit
sering kronis tetapi kadang-kadang akut. Penyakit diawali dengan hilangnya
nafsu makan, kemudian disusul dengan kelemahan, inkoordinasi (gerakan tak
terkendali), peradangan di sekitar dubur dan terjadi diare berair yang disertai
keadaan gemetar. Penyakit terjadi secara tiba-tiba, sering menyerang pada ayam
pedaging umur 3 – 6 minggu. Pada ayam telur lebih sering menyerang ayam umur
kurang dari 12 minggu. Jumlah kematian berkisar antara 5 – 20%, tergantung dari
umur ayam, semakin tua ayam angka sakit dan kematian cenderung menurun.
Pada
ayam yang mati karena penyakit gumboro, jika dilakukan bedah bangkai dapat
ditemukan perubahan pada bursa fabricius. Ginjal membengkak dan warnanya
berubah karena nephrosis. Pembendungan hati dan seringkali didapatkan
perdarahan pada otot tubuh yang berupa garis-garis. Pada keadaan kronis bursa
fabricius mengalami atropi sehingga ukurannya sangat kecil.
Masa inkubasi
penyakit pada kasus alami tidak jelas diketahui, sedangkan untuk infeksi
percobaan masa inkubasi sangat pendek yaitu berlangsung antara 2-3 hari.
Ayam-ayam terserang biasanya ditandai dengan gejala depresi, nafsu makan
menurun, lemah, gemetar, sesak nafas, bulu-bulu merinding dan kotor terutama
bulu-bulu didaerah perut dan dubur, selanjutnya diikuti dengan mencret, feses
berwarna putih kapur dan kematian terjadi akibat dehidrasi.
V.
PATOLOGI ANATOMI
Patologi
anatomi yang dapat diamati teergantung
dari strain ayam yang terinfeksi. Pada tahap awalditemukan odema yaitu pada 2 –
7 hari pascainfeksi (pi) (ACRIBASI et al., 2010), berupa cairan gelatin
yang menutup lapisan serosa. Bursa kemudian membesar pada umur 10 hari pi
karena adanya eksudat pada lumen bursa yang awalnya berwarna kemerahan, pada
tahap berikutnya menjadi berwarna kekuningan dan bintik-bintik perdarahan pada
limpa (RAUTENSCHLEIN et al., 2007). Perdarahan juga ditemukan pada otot
dada dan otot paha mulai umur 2 hari hingga 7 hari pi (Gambar 1B) (ACRIBASI et
al., 2010). Pada 7 hari pi bursa Fabricius ayam yang diinfeksi
vvIBDv terlihat mengecil dibandingkan dengan bursa Fabricius ayam normal
(Gambar 2), demikian juga pada 14 hari pi. Jika terjadi penyembuhan ukuran
bursa kembali normal pada 21 hari pi.
Mekanisme
terjadinya perdarahan pada limpa, otot dada dan otot paha pada infeksi vvIBD
belum diketahui dengan pasti. Perdarahan dapat terjadi jika terjadi kerusakan
pada dinding pembuluh darah kapiler atau vena atau jika terjadi gangguan pada
system pembekuan darah.
VI.
HISTOPATOLOGI
Virus
IBD dari strain yang amat ganas (vvIBDv)menyebabkan lesi yang parah,
yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa Fabricius, hati, ginjal,
jantung, proventrikulus, gizard dan seka tonsil. Pada seka tonsil
terjadi hiperplasia 6 jam pi (OLADELE et al., 2009). NONUYA et al.
(1992) melaporkan bahwa nekrosis sel
timus terjadi secara ekstensif. Pada area nekrosis ditemukan agregat sel dengan
inti yang piknotik, sel debris dan reaksi fagosistosis pada sel epitel
retikuler. Kapsula timus menebal dan daerah antar lobus melebar karena terjadi
odema.
Pada
limpa dan seka tonsil sel limfosit banyak yang menghilang diganti dengan sel
makrofag dan sel heterofil, ini menunjukkan ada reaksi inflamasi. Reaksi
inflamasi juga ditemukan pada ginjal, paru-paru dan seka tonsil. Lesi yang
karasteristik ditemukan pada sumsum tulang. Sel hematopoitik banyak yang
menghilang diganti dengan jaringan lemak dan banyak ditemukan nekrosis dan
sisa-sisa reruntuhan sel. Di daerah sinusoidl diinfiltrasi sel makrofag dan sel
heterofil (NONUYA et al., 1992).
Perubahan
yang paling parah ditemukan pada bursa Fabricius. Lesi pada bursa Fabricius
ditandai dengan odema dan pengosongan sel limfoid pada folikel bursa Fabricius,
akumulasi heterofil pada folikel bursa Fabricius, fibrosis pada
jaringan ikat antar folikel dan proliferasi sel retikuler endotelial (PARK et
al., 2009). Odema mulai teramati 12 pi (OLADELE et al.,
2009). Pada 24 jam pi terjadi degenerasi dan nekrosis limfosit di bagian medula
folikel bursa Fabricius (WANG et al., 2008).
Tahap selanjutnya terjadi penurunan
jumlah sel limfoid pada folikel bursa bahkan beberapa folikel bursa Fabricius
terlihat kosong (RAUTENSCHLEIN et al., 2007). Fibrosis dan kista
pada folikel limfoid bursa Fabricius ditemukan 72 jam pi (OLADELE et
al., 2009). Infiltrasi sel heterofil teramati pada 2 dan 3 hari pi
(ACRIBASI et al., 2010), sedangkan populasi makrofag meningkat pada 1 –
5 hari pi (WILLIAM dan DAVISON, 2005). Gambar 3 menunjukkan gambaran HP pada
infeksi IBD (pewarnaan H & E). Replikasi virus mengakibatkan kerusakan yang
parah pada sel limfoid pada bagian medula dan korteks pada bursa Fabricius. Apoptosis
yang terjadi pada sel B di sekitar sel terinfeksi memperparah perubahan
morfologi bursa Fabricius (NONUYA et al., 1992)
VII.
DIAGNOSA
Diagnosis
IBD dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi
dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah perubahan yang
ditemukan pada bursa Fabricius. Namun demikian, diagnosis IBD sebagai
penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala
infeksi virus IBD mirip dengan ND atau penyakit lain penyebab imunosupresif. Hal
ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi keberadaan
antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius (Gambar 4). Antigen virus
IBD dapat dideteksi 3 jam pi pada bagian korteks folikel limfoid bursa Fabricius.
Antigen dapat dideteksi pada makrofag di dalam folikel bursa Fabricius dan
pada sel epitel 96 jam pi (OLADELE et al., 2009).
Keberadaan
antigen IBD pada bursa Fabricius berkorelasi positif dengan terjadinya
lesi pada bursa Fabricius (RAUTENSCHLEIN et al., 2005). Antigen
virus IBD juga terdeteksi pada organ timus, limpa, secal tonsil, sel epitel
tubulus dan glomerulus ginjal, lapisan mukosa dan glandula pada proventrikulus
serta pada sel Kupffer pada hati (OLADELE et al., 2009). Antigen
virus IBD juga dapat dideteksi pada itik dan kalkun yang diinfeksi dengan virus
IBD, namun demikian jumlah antigen yang dideteksi relatif lebih sedikit
(OLADELE et al., 2009).
Diagnosis
IBD dapat juga dilakukan dengan cara mengisolasi virus yang diduga sebagai
penyebab, yang ditumbuhkan pada telur ayam berembrio berumur 11 hari atau
biakan jaringan, namun diperlukan waktu relatif lama dan tidak semua strain virus
IBD dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus
dapat digunakan untuk mendeteksi IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara
IBD klasik dan IBD varian (OIE, 2008).
Sedangkan
Antigen-capture ELISA dapat digunakan untuk membedakan antara IBDv
sangat virulen dengan IBD yang kurang patogen. Sementara itu, teknik RTPCR
dapat membedakan serotipe IBD, sedangkan subtipe IBD dapat dibedakan dengan real-time
RTPCR (CURRIE, 2002). Virus IBD
dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat sebagai blok parafin dengan real
time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara lesi
dan hasil deteksi antigen (HAMOUD dan VILLEGAS, 2006).
VIII. DIAGNOSA
BANDING
Penyakit Gumboro, yang ditimbulkan
seringkali mirip dengan penyakit lain seperti ND, AI, IB, Inclusion body
hepatitis leucocytozoonosis dan fatty
liver syndrome yang disertai kidney sindrom. Adanya perdarahan pada otot
dada dan paha pada kasus Gumboro juga sering dikelirukan dengan penyakit lain
seperti AI dan leucocytozoonosis. Pada ayam yang terkena Gumboro,
perdarahan yang ditemukan pada otot dada dan paha cenderung berbentuk garis. Sedangkan
pada kasus leucocytozoonosis berbentuk bintik-bintik, dan pada kasus AI
bentuk perdarahannya tidak beraturan.
Penyakit AI juga terkadang menyebabkan
radang pada bursa Fabrisius, namun bentuk plica
(lipatan-lipatan/gelambir) bursa Fabrisius nya masih seragam karena AI
tidak merusak sel-sel limfosit yang terdapat pada bursa Fabrisius.
Selanjutnya diagnosa banding antara Gumboro dan IB juga perlu diamati lebih
spesifik, terutama pada pembengkakan ginjal yang sama-sama ditimbulkan. Karena
pembengkakan ginjal antara Gumboro dan IB, serta Inclusion body hepatitis
terkadang sulit dibedakan dari perubahan fisik yang terjadi, maka lebih baik
periksa perubahan organ tubuh lainnnya.
IX.
PENGENDALIAN
Untuk menghindari kerugian akibat
kematian yang tinggi, pertumbuhan yang tidak optimal ataupun efek imunosupresif
akibat kasus Gumboro, maka pencegahan kasus ini harus menjadi prioritas utama.
Oleh sebab itu, meminimalisir dan mengeliminasi faktor pencetus munculnya
penyakit ini di lapangan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sebenarnya
bukan semata-mata menjadi tanggungjawab peternak di tingkat komersial (pedaging
ataupun pullet), namun pembibit dan feedmil seharusnya juga mempunyai andil
yang tidak kalah penting. Munculnya kasus Gumboro dipicu oleh beberapa hal yang
saling berkaitan diantaranya yaitu, kualitas DOC, kualitas pakan, manajemen
pemeliharaan, program kesehatan dan vaksinasi, dan biosekuriti.
a.
Kualitas DOC
Peternak komersial tidak mempunyai
kendali pada kualitas DOC yang dibelinya. Mereka hanya bisa memilih mana yang
dianggap baik ataupun tidak, berdasarkan pengalaman sendiri dan referensi dari
peternak lain. Kalau kebetulan pembibit yang sudah diyakininya mempunyai
konsistensi dan komitmen tinggi dalam menjaga mutu produknya beruntunglah
peternak, karena salah satu beban untuk eliminasi kasus Gumboro sudah
berkurang.
DOC yang berkualitas baik merupakan
hasil dari suatu proses panjang di tingkat pembibit. Ditentukan dari saat masih
berupa telur di dalam tubuh induk, proses koleksi telur tetas, penetasan hingga
sampai di tangan peternak komersial. Ayam pembibit yang sehat dengan pakan yang
mengandung nutrisi seimbang dan bebas dari mikotoksin, mempunyai program
vaksinasi yang ketat, lingkungan kandang yang bersih, serta proses koleksi,
penyortiran telur yang akan masuk ke hatchery secara ketat akan menghasilkan
DOC yang berkualitas. Dan dibarengi dengan manajemen transportasi yang baik
dari hatchery hinggá sampai ke tangan peternak akan menjamin kualitas DOC
tersebut.
Maternal antibodi yang tinggi didapat
dari induk yang sehat dan divaksin secara teratur dan berkesinambungan.
Vaksinasi IBD pada induk biasanya dilakukan sebelum masa produksi dan diulang
lagi pada umur 40-45 minggu, dimana pada saat ini biasanya titer antibodi induk
sudah menurun. Vaksinasi ulangan ini dilakukan untuk menjaga agar antibodi yang
diturunkan ke anak ayam tetap tinggi. Maternal antibodi yang tinggi akan
melindungi anak ayam dari infeksi agen penyakit pada minggu pertama kehidupannya
(2-3 minggu pertama).
Untuk mendapatkan DOC yang sehat seperti
di atas didapat dari telur tetas yang beratnya sudah memenuhi syarat untuk
ditetaskan dan berasal dari induk yang tidak terlalu tua ataupun muda, telur
tetas bersih, utuh tidak retak ataupun cacat dengan lingkungan kandang yang
bersih dan proses penetasan yang baik dan benar. Jika lingkungan kotor dan
telur yang ditetaskan pun demikian dikuatirkan embrio juga akan tercemar
bakteri seperti E.coli, Pseudomonas, Staphylococcus, dll yang bisa menyebabkan
peradangan pada kantong kuning telur (omfalitis).
Kondisi ini akan menyebabkan gangguan
proses penyerapan kuning telur yang notabene merupakan sumber makanan di awal
kehidupan ayam dan juga maternal antibodi yang diturunkan dari induknya. Atau
bisa juga telur tercemar spora jamur Aspergillus, sp, sehingga anak ayam bisa
terkena Aspergillosis sejak masih embrio.
Transportasi DOC dari hatchery ke farm
juga akan mempengaruhi pertumbuhan DOC tersebut. Kondisi mobil pengangkut harus
memenuhi stándar yang ditetapkan. Temperatur dan ventilasi ruangan harus
diperhatikan agar anak ayam tidak mendapat stress yang berlebihan dam kecukupan
oksigennya terpenuhi.
b. Kualitas pakan
Pakan merupakan komponen pokok yang
mengambil porsi terbesar dari biaya produksi suatu usaha peternakan. Kualitasnya
pakan ditentukan oleh kualitas bahan baku yang menyusunnya. Dalam manajemen
pakan hal yang harus diwaspadai adalah keseimbangan nutrisi dan kadar
mikotoksin yang mencemarinya. Kandungan protein tercerna yang sesuai dengan
kebutuhan ayam dengan komposisi asam amino yang seimbang, demikian juga dengan
kadar lemak, energi, serat kasar dan mineral yang imbang sangat penting untuk
pertumbuhan ayam.
Kadar mikotoksin dalam pakan harus
diperhatikan, karena akan berpengaruh pada sistem imunitas dan pertumbuhan
tubuh ayam. Pada saat musim hujan kita perlu waspada dengan mikotoksin ini. Di
musim kemaraupun kadang kadar mikotoksin juga masih tinggi. Tingginya kadar
mikotoksin berkaitan dengan proses pemanenan, pengeringan dan penyimpanan bahan
baku, terutama yang berasal dari biji-bijian. Untuk meminimalisir jumlah
mikotoksin perlu pencegahan tumbuhnya jamur dan pembentukan metabolitnya.
Salah satu caranya dengan pengeringan
hinggá mencapai kadar air yang rendah, penyimpanan pada ruangan yang kering,
penambahan antijamur (asam organik), dan mikotoksin binder (zeolit, bentonit,
dll.). Proses penyimpanan dan pengangkutan bahan baku atau pakan jadi jika
tidak memenuhi stándar juga akan mempengaruhi kualitas pakan.
Indonesia merupakan negeri tropis dengan
curah hujan tinggi, sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan jamur. Temperatur
dan kelembaban gudang penyimpan tidak boleh terlalu tinggi, yang ideal
disarankan pada suhu tidak lebih dari 240 C dan kelembaban < 17%. Selain itu
pemeriksaan sampel bahan baku dan pakan jadi harus dilakukan secara teratur
untuk melihat komposisi nutrisi (analisa proksimat) maupun cemaran mikotoksin.
c. Manajemen Pemeliharaan
c. Manajemen Pemeliharaan
Manajemen pemeliharaan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha produksi peternakan. Untuk
mendapatkan hasil yang baik, yang paling utama adalah menciptakan kondisi dan
tempat yang nyaman untuk hidup ayam. Jika ayam hidup di kandang yang nyaman,
terjaga dari stres lingkungan, kebutuhan oksigen terpenuhi, cemaran gas amonia
minimal, tersedia pakan yang berkualitas dan air minum yang bersih sepanjang
hari, dan juga dengan pelaksanaan program vaksinasi terhadap berbagai agen
infeksius yang tepat diharapkan ayam terhindar dari berbagai stres baik dari
lingkungan makro ataupun agen penyakit yang ada. Dengan begitu ayam bisa
tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan optimal.
Proses pemeliharaan yang baik dan benar
harus dilakukan sejak kedatangan anak ayam, masa brooding dan kehidupan
selanjutnya. Masa brooding merupakan waktu yang cukup krusial bagi pertumbuhan
dan perkembangan ayam, sehingga harus dilakukan dengan benar. Populasi dalam
satu lingkaran brooder harus diperhatikan, 1 pemanas maksimal untuk 1000 ekor
DOC. Jika populasi terlalu padat tingkat stress dan daya kompetisi ayam semakin
tinggi dan kecukupan oksigen pun akan berkurang. Untuk mempertahankan suhu
badan anak ayam kehangatan ruangan sangat penting karena ayam tidak dierami
oleh induknya dan dan pusat pengatur suhu tubuh ayam belum berkembang sempurna.
Selain itu buka tutup tirai harus diatur sedemikian rupa sehingga kesegaran
udara dan kecukupan oksigen terpenuhi, selain itu juga untuk menghindari
paparan angin yang terlalu dini.
Pada minggu pertama merupakan masa
pertumbuhan ayam yang paling cepat. Berat badan ayam bisa mencapai 2 kali lipat
dari saat menetasnya. Bisa dikatakan saat ini merupakan golden age ayam. Pada
masa ini terjadi pembelahan sel cukup tinggi, sehingga kecukupan oksigen dan
nutrisi sangat penting. Saat ini juga terjadi penyerapan kuning telur yang di
dalamnya terdapat antibodi dari induk. Pemberian pakan sesegera mungkin setelah
anak ayam datang akan mempercepat dan mengoptimalkan penyerapan kuning telur.
Jika pada masa brooding kehidupan ayam terjaga dengan baik, diharapkan
penyerapan antibodi induk terhadap IBD yang ada dalam kuning telur bisa
sempurna. Sehingga ayam bisa mengatasi infeksi IBD dini yang bersifat
subklinis. Selain itu juga meminimalkan faktor pencetus stres pada ayam seperti
menjaga kecukupan pakan, minum, kecukupan sirkulasi udara, pencahayaan dan
ketenangan lingkungan.
d.
Program Kesehatan
Kasus Gumboro bisa terjadi jika
kekebalan ayam tidak bisa mengatasi serbuan virus lapangan yang masuk ke tubuh
ayam dan virus lapangan lebih cepat sampai di bursa dibanding virus vaksin yang
diberikan. Hal ini bisa terjadi karena kondisi ayam yang tidak optimal karena
stres (manajemen, lingkungan), titer antibodi induk yang rendah, jumlah virus
lapangan yang terlalu banyak, strain virus vaksin yang dipakai tidak cocok
dengan virus yang ada di lapangan, dan waktu pemberian vaksin yang tidak tepat.
Meminimalisir faktor pencetus stres bagi
ayam sangat penting terutama pada awal kehidupan ayam. Jika ayam menderita
cekaman baik karena faktor internal ataupun eksternal bisa mengakibatkan daya
tahan tubuh ayam menurun. Sehingga agen-agen patogen bisa mudah menginvasi
tubuh ayam. Jumlah virus di lapangan yang tinggi akan meningkatkan resiko
terkena Gumboro. Antibodi induk ayam hanya bisa melindungi sampai umur sekitar
2-3 minggu, dan daya netralitasnya pun terbatas, jika agen infeksi yang harus
dinetralkan terlalu banyak, jumlah antibodi tidak bisa mencukupi sehingga ayam
akan kalah juga.
Untuk mengurangi kerja ayam dalam
menetralkan antigen, meminimalkan jumlah virus di lapangan sangatlah penting.
Ini dilakukan dengan persiapan kandang yang benar-benar baik sebelum kedatangan
ayam. Sebelum dipakai kandang harus dicuci kering dan basah sampai bersih,
kemudian dilakukan desinfeksi berulang. Lantai kandang juga harus diperlakukan
khusus, setelah dicuci bersih diberi larutan soda api kemudian dicuci ulang.
Setelah itu diberi larutan kapur hidup. Penyemprotan insektisida ke lantai,
langit-langit, tiang, dinding dan sekitar kandang perlu dilakukan untuk
membunuh serangga seperti semut, kumbang franky (Altophobius, sp) dll yang bisa
menjadi reservoir virus IBD.
Penyemprotan kandang secara rutin
setelah ayam masuk kandang dengan larutan desinfektan (seperti golongan iodin)
akan sangat membantu meminimalisir jumlah virus. Pemberian antibiotika
berspektrum luas selama 3-5 hari pertama kehidupan anak ayam akan membantu
mengeliminasi bakteri yang ada pada anak ayam, diharapkan akan mengurangi kasus
radang omfalitis sehingga penyerapan kuning telur bis optimal. Selain itu
dengan memperkuat kondisi tubuh anak ayam dengan pemberian multivitamin secara
rutin akan membantu mengurangi pengaruh cekaman pada anak ayam. Pencegahan
koksidiosis dengan vaksinasi ataupun pemberian koksidiostat diharapkan bisa
meminimalisir kejadian koksidiosis pada ayam dan diharapkan secara tidak
langsung akan mengurangi kejadian Gumboro ataupun menurunkan tingkat keparahan
koksidiosis. Jika ayam terkena koksidiosis pada minggu-minggu awal biasanya
resiko terkena Gumboro lebih besar dan parah.
e.
Biosekuriti
Biosekuriti merupakan suatu usaha
pengamanan biologik yang bertujuan untuk mencegah masuknya agen-agen patologik
ke tubuh ayam. Tidak hanya meliputi proses desinfeksi kandang dan lingkungan,
namun merupakan suatu usaha yang terpadu dan berkesinambungan dari tingkat
konseptual, struktural dan operasional. Meliputi tata letak, lokasi farm dan
kandang, bangunan kandang, pemagaran serta bangunan pendukung seperti kantor,
mess karyawan, gudang pakan atau telur, ruang ganti baju, car dip. Juga pola
replacement yang all in all out. Lokasi farm yang tidak berdekatan dengan farm tetangga,
hanya terdapat satu macam spesies unggas saja di lokasi, adanya pagar
sekeliling farm yang memisahkan farm dengan lingkungan sekitar, dan pola
pemeliharaan all in all out, akan mengurangi resiko munculnya kasus penyakit
infeksius.
f.
Ketepatan Pemilihan Vaksin
Pemilihan vaksin yang cocok dengan virus
di lapangan sangat penting. Pada saat ini ada banyak macam jenis vaksin yang
dijual di pasaran. Dari yang bersifat mild sampai yang intermediate plus.
Vaksin yang tergolong mild virusnya bisa menembus titer antibodi induk pada
angka 125. Intermediate pada titer 250, sedangkan yang intermediate plus bisa
menembus titer di angka 500-800. Berdasarkan grup molekulernya virus gumboro
digolongan dalam 6 macam virus. Di Indonesia kebanyakan dari jenis group
molekuler 3, 4 dan 5. Kita harus jeli dan pintar dalam memilih produk yang
demikian banyaknya di pasar. Vaksin yang mahal tidak selalu menjamin bebas dari
kebocoran vaksinasi. Kecocokan strain virus dengan lingkungan setempat harus
diutamakan. Jika suatu jenis vaksin sudah cocok di farm kita lebih baik jangan
diubah. Virus vaksin yang terlalu keras sebaiknya hindari diberikan terlalu
dini, karena bisa merusak sel-sel limfoid di bursa.
g.
Ketepatan Waktu Vaksinasi
Hal yang tak kalah penting untuk meminimalisir
kebocoran vaksinasi adalah penentuan waktu yang tepat kapan sebaiknya vaksinasi
dilakukan. Untuk dapat menentukan waktu vaksinasi yang tepat, pengukuran
maternal antibodi (MAb) terhadap IBD mutlak harus dilakukan. Karena pembibit
tidak pernah memberitahukan titer antibodi dari induknya.
Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan
teknik ELISA. Dengan mengetahui status MAb nya kita dapat melihat tingkat
keseragaman titer dan menghitung kecepatan penurunannya, sehingga dapat
diperkirakan waktu yang tepat untuk vaksinasi. Vaksinasi yang dilakukan pada
saat titer MAb masih tinggi tidak akan efektif, virus vaksin justru akan
dinetralisir oleh antibodi sehingga virus tidak akan bisa multiplikasi dan pada
akhirnya tidak akan muncul respon vaksinasi yang diharapkan. Dan bisa jadi jika
ada virus lapangan yang bisa menembus kekebalan ayam, kejadian Gumboro akan
muncul.
Kendala dalam penentuan waktu vaksinasi
ini adalah ketidakseragaman MAb dari masing-masing individu. Hal ini terjadi
karena DOC berasal dari individu induk yang berbeda-beda baik yang seumur atau
bahkan berlainan umur. Oleh karena itu pada saat DOC masuk kita harus mencatat
no batch yang biasa ada pada masing-masing box. Ayam yang berlainan no batch
biasanya berbeda data induk dari telur tetasnya. Dan untuk masing-masing no
batch yang berbeda kita mengambil sample darahnya.
Jumlah DOC yang kita ambil untuk sampel
minimal 20 ekor. Dan satu hal yang harus kita perhatikan DOC yang kita ambil
darahnya haruslah yang sehat bukan DOC yang performansnya jelek, agar titer
yang didapat merupakan gambaran titer MAb sebagian besar ayam . Kalau kita
ambil DOC yang jelek, bisa jadi gambaran titer yang kita dapat juga kurang
bagus, dan itu bukan pencerminan dari kelompok ayam tersebut.Untuk penghitungan
prediksi waktu vaksinasi biasanya digunakan rumus van Deventer. Rumus ini dapat
dipakai baik untuk ayam pedaging, petelur maupun pembibit. Hal yang harus
diketahui adalah waktu paruh MAb IBD berbeda untuk setiap tipe ayam, untuk ayam
pedaging 3-3,5 hari, ayam petelur 5-5,5 hari, pembibit 4,5 hari. Selain itu
kita juga harus tahu jenis vaksin IBD yang akan digunakan, apakah mild,
intermediate ataupun intermediate plus, karena ini untuk mengetahui break
through titer (angka titer di mana virus vaksin bisa menembus MAb ayam) dari
virus vaksin. Jika menggunakan vaksin yang mild break through titer nya sekitar
125, intermediate plus sekitar 500 dan yang hot di titer 1000.
Cara penghitungan prediksi waktu
vaksinasi :
Hari vaksinasi = T1/2 x ( Log2 titer –
Log2 target titer)) + umur saat sampling + angka koreksi T1/2 : waktu paruh MAb
(broiler : 3 hari, layer: 5, breeder: 4,5 hari)
Titer: titer MAb (jika CV bagus vaksinasi bisa sekali untuk perlindungan 75 %, namun jika CV jelek vaksin 2 kali untuk perlindungan di 20 %dan 70 % atau 40 dan 90 %)
Titer target: titer MAb di mana virus vaksin bisa menembusnya (mild: 125, intermediate plus: 500, hot: 1000) tergantung pada spesifikasi masing-masing produk vaksin.
Titer: titer MAb (jika CV bagus vaksinasi bisa sekali untuk perlindungan 75 %, namun jika CV jelek vaksin 2 kali untuk perlindungan di 20 %dan 70 % atau 40 dan 90 %)
Titer target: titer MAb di mana virus vaksin bisa menembusnya (mild: 125, intermediate plus: 500, hot: 1000) tergantung pada spesifikasi masing-masing produk vaksin.
Umur sampling: Umur pada saat
pengambilan darah
Angka koreksi: tambahan hari jika sampling dilakukan pada umur ayam 0-4 hari (diasumsikan pada 4 hari pertama kehidupan ayam belum terjadi penurunan MAb karena masih adanya penyerapan kuning telur, jika sampling umur 1 hari koreksinya 3, umur 2 hari koreksinya 2, 3 hari koreksinya 1 dan umur 4 hari koreksinya).
Angka koreksi: tambahan hari jika sampling dilakukan pada umur ayam 0-4 hari (diasumsikan pada 4 hari pertama kehidupan ayam belum terjadi penurunan MAb karena masih adanya penyerapan kuning telur, jika sampling umur 1 hari koreksinya 3, umur 2 hari koreksinya 2, 3 hari koreksinya 1 dan umur 4 hari koreksinya).
X.
PENCEGAHAN
1.
Vaksinasi secara teratur
2.
Melakukan sanitasi kandang (kandang
dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan ANTISEF, FOMADES atau SPORADES),
mencegah temu hewan liar dan hewan peliharaanlain masuk kelingkungan
kandang.
3.
Usahakan peternakan dengan baik
supaya terciptan suasana yaman bagi ayam, ayam dalam kandang tidak terlalu
padat. Ventilasi kandang cukup dan
sedapat mungkin dilakukan sistem “all in all uot”.
4.
Sanitasi tepat minum : tepatminum
dicuci setiap dua kali sehari, rendam tempat minum yang telah dicuci dalam
medisef 25 ml setiap sepuluh liter selam
paling tidak 30 menit, setiap 4 hari sekali.
Majukan dan mundurkan desinfektan jika harinya bertepatan dengan jadwal
vaksinasi.
5.
Jiga tersedia sarana test ELISA
uintuk mengukur kandungan materal anti body pada DOC, waktu vaksinasi dan jenis
vaksin yang dipilih bisa ditentukan dan akan lebih menunjang keberhasilan
program vaksinasi.
XI.
PENGOBATAN
Penyakit gumboro disebabkan oleh virus,
maka tidak ada obat-obat yang khusus untuk penyakit ini. Antibiotika,
sulfonamide dan Nitrofuran tidak mempunyai efek atau bahkan sama sekali tidak
berdaya terhadap penyakit ini. Dapat dicoba pengobatan vitamin-elektrolit yang
rupa-rupanya sedikit menolong ayam-ayam yang sakit.Wabah penyakit ini akan
berlangsung selama 4-7 hari, dan jika dalam ginjal sudah terdapat banyak asam
urat dan ada nephritis dan nephrosis, perlu diberikan air minum yang dicampur
dengan molase sebanyak kurang lebih 10% (kira-kira 1 mangkuk molase tiap-tiap 5
galon air), biasanya dapat menolong dari kematian. Kadar antibiotik yang tinggi
pada ransum adalah kotraindikasi (tidak diperbolehkan), sebab akan mengikat
calcium, sehingga malah akan berakibat timbulnya poenyakit rachitis (tulang).
Disinfeksi terus-menerus, alat-alat maupun bangunan-bangunan terhadap
pencemaran virus gumboro sangat diperlukan, sampai ayam-ayam yang sakit sembuh
semua.
__________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
STPP
Malang, Newcastle
Disease (ND). http://nakstppmlg.weebly.com/penyakit-ayam.html.
30 November 2013
Info medion. 2012. Gumboro Menghadang, Tak Perlu Khawatir. Tips Menangani Virus Gumboro
http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/penyakit/gumboro-menghadang-tak-perlu-khawatir.
30 November 2013
Info medion. 2012. Tips Menangani
Virus Gumboro
http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/tata-laksana/tips-atasi-virus-gumboro.
30 November 2013
Duriyat, djadjat. 2013. Penyakit Gumboro / IBD Pada Ternak
Unggas
http://bp3kmandirancan.blogspot.com/2013/01/penyakit-gumboro-ibd-pada-ternak-unggas.html.
30 November 2013
Yudianto, Gusti Made. 2012. PENYAKIT GUMBORO. http://kesehatanunggas13.blogspot.com/2012/03/penyakit-gumboro.html.
30 November 2013
30 November 2013
Genepo, afendi.
2011. PENCEGAHAN PENYAKIT
GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA PETERNAKAN AYAM BROILER
http://afendigenepo.blogspot.com/2011/06/pencegahan-penyakit-gumboro-infectious.html